Seorang pelancong Malaysia asyik menikmati kopi di sebuah kafe terkenal di sekitar Eifel Paris, France.

Tak lama kemudian, datanglah seorang lelaki separuh umur, duduk di salah satu meja kosong.
Ia memanggil pelayan dan memesan : “Kopi 2 cawan. Yang 1 untuk di dinding.”

Sang pelancong berasa hairan mendengar kalimat tersebut. Apalagi lelaki itu kemudian hanya diberikan secawan kopi, namun ia “membayar” untuk 2 cawan.

Segera setelah lelaki tersebut pergi, pelayan itu terus menampalkan sehelai kertas kecil bertuliskan “Secawan Kopi” di dinding kafe.

Suasana kafe kembali hening. Tak lama kemudian, masuklah sepasang “merpati”.
Kedua mereka tersebut memesan 3 cawan kopi. Dua cawan di meja, satu lagi untuk di dinding.
Merekapun “membayar tiga cawan kopi”, sebelum pergi.

Lagi-lagi setelah itu pelayan tesebut melakukan hal yang sama, menampalkan kertas bertulis “Secawan Kopi” di dinding.

Pemandangan aneh di kafe petang itu membuat pelancong Malaysia itu kehairanan.

Dia meninggalkan kafe dengan menyimpan pertanyaan atas kejadian ganjil yang disaksikannya, namun dia tidak berani mengajukan pertanyaan, apa yang dimaksud dengan “kopi di dinding” tadi.

Keesokan harinya, pelancong Malaysia tersebut singgah lagi di kafe yang sama.

Dia melihat, seseorang lelaki tua masuk ke dalam kafe. Pakaiannya tak terurus dan lusuh.

Setelah duduk ia melihat ke dinding dan berkata kepada pelayan: “Satu cawan kopi dari dinding.”

Pelayan segera menyuguhkan segelas kopi.

Setelah menghabiskan kopinya, lelaki tua tadi lantas pergi tanpa membayar. Tampak si pelayan menarik satu helai kertas dari dinding tersebut, lalu membuangnya ke tempat sampah.

Kini pertanyaan pelancong itu “terjawab sudah”.

Begini rupanya cara penduduk kota ini menolong sesamanya yang kurang beruntung, dengan “tetap menaruh respek” kepada orang yang ditolongnya.

Golongan miskin masih boleh menikmati secawan kopi tanpa perlu merendahkan harga diri untuk mengemis dan mendapatkan secawan kopi.

Bahkan mereka pun “tidak perlu tahu” siapa yang “membayarnya”. Suatu suasana kehidupan bermasyarakat yang amat menyentuh dan mengharukan.

“Secawan kopi di dinding” adalah wujud cinta tulus kepada orang lain, tanpa menyikapi mereka dengan mendabik dada: “Aku memberikan untukmu”.

Tidak penting seberapa banyak yang kita sudah memberi, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana cara kita menghulurkan

Yg memberi pun tidak tahu tangan yang menerima.