Banyak orang mengira kesehatan otak hanya ditentukan oleh usia, genetika, atau suplemen. Padahal, seperti tubuh, otak juga membutuhkan latihan rutin agar tetap berfungsi dengan baik. Masalahnya, banyak latihan alami yang dulu kita lakukan kini perlahan menghilang. Salah satunya adalah menulis tangan.

Menulis tangan bukan sekadar memindahkan kata ke kertas. Saat seseorang menulis, otak bekerja secara terpadu. Gerakan jari dan pergelangan diatur dengan presisi. Mata memantau bentuk huruf. Pusat bahasa memilih kata dan menyusun kalimat. Pada saat yang sama, perhatian dijaga agar tulisan tetap mengalir. Ini adalah latihan kognitif ringan yang melibatkan banyak sistem otak sekaligus.

Ilmu saraf menunjukkan bahwa aktivitas semacam ini membantu menjaga konektivitas antarwilayah otak. Koneksi inilah yang berperan dalam memori, fokus, dan pemahaman. Ketika koneksi sering digunakan, ia cenderung bertahan lebih lama. Ketika jarang dipakai, ia melemah. Prinsipnya sederhana. Apa yang dilatih, bertahan. Apa yang ditinggalkan, menurun.

Sebaliknya, banyak aktivitas digital bersifat cepat dan relatif pasif. Mengetik memungkinkan kata mengalir tanpa banyak pemrosesan motorik halus. Scroll memberi informasi tanpa menuntut pengorganisasian ulang di otak. Aktivitas ini tidak berbahaya, tetapi tidak memberi jenis latihan kognitif yang sama.

Dampaknya sering terasa halus. Fokus mudah pecah. Pikiran cepat lelah. Informasi sulit menempel. Ini bukan tanda otak rusak, melainkan tanda kurang dilatih dengan cara yang tepat.

Menulis tangan bisa menjadi salah satu solusi sederhana. Tidak perlu lama atau indah. Menulis catatan singkat, merangkum bacaan, atau menuangkan pikiran beberapa menit sehari sudah cukup untuk memberi rangsangan kognitif yang bermakna. Bagi anak-anak, ini membantu perkembangan koordinasi dan bahasa. Bagi orang dewasa dan lansia, ini membantu menjaga keterlibatan otak secara aktif.

Tulisan tangan bukan obat mujarab. Ia tidak menggantikan tidur, olahraga, atau interaksi sosial. Namun sebagai kebiasaan kecil yang konsisten, ia berperan seperti jalan kaki bagi otak. Sederhana, terjangkau, dan efektif.

Di tengah dunia yang serba cepat, memperlambat tangan bisa membantu menjaga kejernihan pikiran.

Sumber Referensi:

  1. Van der Meer & Van der Weel, Frontiers in Human Neuroscience
    Penelitian EEG menunjukkan menulis tangan mengaktifkan dan menghubungkan lebih banyak area otak dibandingkan mengetik.
  2. Mueller & Oppenheimer, Psychological Science (2014)

Studi menemukan mencatat dengan tulisan tangan mendorong pemahaman dan retensi yang lebih dalam dibandingkan mengetik.

Cecep Hermawan

Sumber FB : Lantera Pustaka Dunia

Syekh Abdul Qadir Jailani رحمه الله dikenal sebagai ulama besar dan wali yang hidupnya dipenuhi ketakwaan. Namun fondasi dari seluruh kemuliaan akhlaknya bertumpu pada satu sifat utama: kejujuran yang dijaga sejak lahir.

Ibunda Syekh Abdul Qadir adalah seorang wanita salehah. Sejak beliau masih kecil, sang ibu menanamkan satu janji yang harus ia jaga sepanjang hidupnya:
“Wahai anakku, jangan pernah berdusta, apa pun yang terjadi.”

Pesan itu bukan sekadar nasihat, melainkan amanah yang hidup di hatinya.

Diriwayatkan bahwa Syekh Abdul Qadir tidak pernah sekalipun berdusta sejak kecil. Ketika melakukan kesalahan, ia mengaku. Ketika ditanya, ia menjawab apa adanya, meski jawabannya merugikan dirinya sendiri. Kejujuran itu membuatnya tumbuh dengan hati yang bersih dan jiwa yang tenang.

Kejujuran inilah yang kelak tampak jelas dalam peristiwa terkenal saat ia masih remaja, ketika perampok menghadang kafilah dalam perjalanannya menuntut ilmu ke Baghdad. Ia tetap berkata jujur tentang harta yang dimilikinya, meski tahu risikonya besar. Kejujuran itu mengguncang hati para perampok dan menjadi sebab hidayah mereka.

Namun jauh sebelum peristiwa itu, kejujuran telah menjadi napas hidupnya. Ia meyakini bahwa berdusta, sekecil apa pun, akan menggelapkan hati dan memutus pertolongan Allah.

Syekh Abdul Qadir pernah berkata bahwa seorang hamba yang jujur akan dijaga Allah bahkan saat ia lemah, dan akan ditolong meski ia sendirian. Karena itu, ia memilih kejujuran bukan karena ingin dipuji, tetapi karena takut kehilangan penjagaan Allah.

Hingga akhir hayatnya, lisan Syekh Abdul Qadir tetap bersih dari dusta. Allah pun meninggikan derajatnya, bukan hanya karena ilmunya, tetapi karena akhlaknya yang lurus sejak awal kehidupan.

Kisah ini mengajarkan bahwa kejujuran bukan kebiasaan yang datang tiba-tiba, melainkan buah dari pendidikan iman sejak kecil. Siapa yang menjaga kejujuran di awal hidupnya, Allah akan menjaganya hingga akhir.


SyekhAbdulQadirJailani

KejujuranSejakDini

AkhlakMulia

DidikanIbu

WaliAllah

TeladanUlama

IslamicWisdom

InspirasiIman

JujurKarenaAllah

KisahIslami

Sumber FB : Kisah Islami

Syekh Abdul Qadir al-Jailani رحمه الله dikenal luas sebagai seorang wali Allah yang memiliki banyak karomah. Majelis ilmunya di Baghdad selalu dipenuhi ribuan orang. Ulama, pedagang, fakir miskin, bahkan para pejabat duduk bersama untuk mendengarkan nasihatnya. Banyak orang datang bukan hanya untuk belajar, tetapi juga berharap menyaksikan keajaiban darinya.

Namun, semakin tinggi kedudukan beliau di mata manusia, semakin rendah hati beliau di hadapan Allah.

Suatu hari, beberapa muridnya berbincang dengan penuh kekaguman. Mereka menceritakan berbagai kejadian luar biasa yang pernah terjadi melalui Syekh Abdul Qadir: doa yang dikabulkan, orang sakit yang sembuh, hati yang keras menjadi lembut. Salah seorang murid berkata dengan penuh semangat,
“Wahai Guru, engkau adalah wali terbesar di zaman ini.”

Mendengar itu, wajah Syekh Abdul Qadir berubah. Ia menundukkan kepala, lalu berkata dengan suara tenang namun tegas,
“Diamlah. Jangan engkau ukur kedudukan seseorang dengan karomahnya. Karomah bisa menjadi ujian, bukan kemuliaan.”

Para murid terdiam.

Beliau kemudian melanjutkan,
“Seandainya aku berjalan di atas air atau terbang di udara, tetapi melanggar satu perintah Allah, maka aku bukanlah siapa-siapa. Kemuliaan bukan pada keajaiban, melainkan pada ketaatan.”


Ujian yang Menggetarkan Hati

Pada suatu malam, saat Syekh Abdul Qadir al-Jailani sedang bermunajat, hatinya diliputi rasa takut yang mendalam. Ia menangis dan berdoa,
“Ya Allah, jangan Engkau jadikan karomah sebagai hijab antara aku dan-Mu. Jangan Engkau sibukkan aku dengan pujian manusia.”

Beliau khawatir bukan karena kurangnya karomah, tetapi karena takut kehilangan keikhlasan.

Di pagi hari, seseorang datang dan berkata,
“Wahai Syekh, aku melihat engkau memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah.”

Syekh Abdul Qadir menjawab,
“Aku belum tahu bagaimana akhir hidupku. Orang beriman takut pada akhirnya, bukan bangga pada perjalanannya.”


Pelajaran Besar untuk Murid-muridnya

Suatu ketika, ada murid yang meminta agar diajarkan ilmu agar bisa memiliki karomah seperti gurunya. Syekh Abdul Qadir menatapnya dan berkata,
“Jika engkau ingin karomah, perbaikilah shalatmu.
Jika engkau ingin kemuliaan, tundukkan nafsumu.
Jika engkau ingin dekat dengan Allah, istiqamahlah dalam ketaatan meski tanpa keajaiban.”

Beliau kemudian mengucapkan kalimat yang terkenal hingga hari ini:

“Istiqamah lebih utama daripada seribu karomah.”

Kalimat itu mengguncang hati para murid. Mereka menyadari bahwa jalan menuju Allah bukanlah jalan yang penuh keajaiban, tetapi jalan yang penuh kesabaran, kejujuran, dan ketaatan.


Akhlak Seorang Wali Sejati

Meski diagungkan manusia, Syekh Abdul Qadir al-Jailani tetap hidup sederhana. Ia duduk bersama fakir miskin, menyapu masjid, dan melayani tamu dengan tangannya sendiri. Tidak ada kesombongan, tidak ada keinginan dipuji.

Beliau sering berkata,
“Wali Allah yang sejati adalah orang yang paling takut kepada Allah, bukan yang paling terkenal di mata manusia.”


  • Hikmah

Kisah Syekh Abdul Qadir al-Jailani ini mengajarkan bahwa:

Karomah bukan tujuan, melainkan ujian

Keikhlasan lebih berat daripada keajaiban

Istiqamah dalam ketaatan adalah derajat tertinggi

Tawadhu’ adalah tanda kedekatan sejati dengan Allah

Semoga Allah menjadikan kita hamba yang istiqamah, rendah hati, dan ikhlas, meski tanpa keajaiban yang terlihat. Aamiin.


#KisahIslami

Sumber FB : Kisah Islami

Ada masa dalam hidup ketika kamu tidak lagi berdebat seperti dulu, tidak lagi ingin membuktikan segalanya, dan mulai memilih diam ketika disalahpahami. Di titik itu, sebagian orang mungkin mengira kamu berubah — padahal sebenarnya kamu sedang tumbuh. Perubahan menuju ketenangan bukan terjadi dalam semalam; ia lahir dari luka yang kamu pahami, dari kecewa yang kamu terima, dan dari perjuangan yang kamu ubah jadi kebijaksanaan. Kamu tidak kehilangan semangat, kamu hanya belajar menyalurkannya dengan cara yang lebih damai.

Ketenangan bukan berarti kamu berhenti peduli, tapi kamu belajar menempatkan energi di tempat yang benar. Kamu tak lagi ingin menang di semua perdebatan, karena kamu tahu: tidak semua orang perlu diyakinkan, tidak semua situasi perlu direspons. Kamu mulai paham bahwa kedamaian bukan sesuatu yang kamu cari di luar, melainkan sesuatu yang kamu ciptakan di dalam. Dan ketika kamu sampai di fase itu — kamu sedang berubah jadi versi dirimu yang lebih tenang.

  1. Kamu mulai memilih diam daripada membalas.

Dulu, kamu mungkin mudah terpancing — merasa perlu menjelaskan segalanya, membela diri, atau melawan setiap kesalahpahaman. Tapi sekarang, kamu lebih memilih diam. Bukan karena kamu kalah, tapi karena kamu tahu tidak semua orang siap mendengarkan. Kamu sadar bahwa klarifikasi tak akan mengubah pandangan yang sudah tertutup, dan kadang diam lebih berharga daripada menjelaskan pada yang tidak mau memahami.

Kamu belajar bahwa ketenangan tidak lahir dari kemenangan debat, tapi dari kemampuan menahan diri. Kamu tidak lagi reaktif terhadap provokasi, karena kamu tahu: energi dan waktu terlalu berharga untuk dibuang hanya demi ego sesaat. Dalam diam, kamu menemukan kendali — kendali atas diri sendiri. Dan dari kendali itu, kamu membangun kedamaian yang lebih kuat daripada suara keras mana pun.

  1. Kamu mulai memprioritaskan ketenangan daripada pengakuan.

Ada masa ketika kamu ingin semua orang tahu kamu mampu. Kamu bekerja keras bukan hanya untuk hasil, tapi juga untuk pembuktian. Namun, kini kamu mulai berubah. Kamu tak lagi mencari validasi di luar, karena kamu telah menemukan nilai dirimu di dalam. Kamu tidak butuh sorakan orang lain untuk merasa berarti — cukup tahu bahwa kamu telah melakukan yang terbaik, itu sudah cukup.

Perubahan ini membuatmu lebih ringan. Kamu tidak lagi cemas ketika pencapaianmu tidak terlihat, atau ketika kerja kerasmu tidak dipuji. Kamu tahu bahwa hasil sejati tidak selalu butuh panggung. Kamu lebih tenang karena kamu berjuang bukan untuk dilihat, tapi untuk bertumbuh. Dan ketika kamu tak lagi mengejar pengakuan, kamu justru mendapatkan hal yang lebih berharga: rasa damai karena hidupmu tidak lagi bergantung pada penilaian orang lain.

  1. Kamu mulai memahami bahwa tidak semua hal perlu dikendalikan.

Dulu, kamu mungkin ingin segalanya berjalan sesuai rencana. Kamu cemas ketika sesuatu melenceng sedikit saja. Tapi kini kamu mulai menerima bahwa hidup memang penuh ketidakpastian. Kamu sadar bahwa kendali penuh itu ilusi — dan yang bisa kamu atur hanyalah sikapmu sendiri. Kamu mulai melepaskan keinginan untuk mengontrol segalanya, dan perlahan kamu menemukan ketenangan di dalam ketidakpastian itu.

Kamu tidak lagi takut ketika hal-hal tak berjalan sesuai harapan, karena kamu tahu: beberapa hal memang dibiarkan terjadi agar kamu belajar melepaskan. Kamu mulai mempercayai proses — bukan karena kamu pasrah, tapi karena kamu yakin segalanya punya waktu dan alasannya sendiri. Di titik ini, kamu berhenti melawan aliran hidup, dan mulai menari bersamanya.

  1. Kamu mulai sadar bahwa tidak semua orang harus kamu bawa dalam perjalananmu.

Ada kalanya kamu harus kehilangan beberapa orang untuk menemukan versi terbaik dirimu. Dulu, kamu mungkin berusaha mempertahankan semua hubungan, takut dianggap berubah, takut disebut sombong. Tapi kini kamu paham: tidak semua orang bisa ikut tumbuh bersamamu. Kamu belajar melepaskan tanpa kebencian, dan memahami bahwa perpisahan bukan akhir, melainkan bagian dari perjalanan.

Kamu menjadi lebih tenang karena kamu tidak lagi memaksa koneksi yang tidak seimbang. Kamu menghargai yang datang dengan tulus, dan ikhlas melepaskan yang hanya hadir saat butuh. Kamu tak lagi marah pada kehilangan, karena kamu tahu setiap orang punya peran dan waktunya masing-masing dalam hidupmu. Dari sana, kamu belajar bahwa ketenangan juga berarti keberanian untuk berjalan sendiri — tanpa takut kehilangan siapa pun, selama kamu tidak kehilangan arah.

  1. Kamu mulai menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana.

Kamu tidak lagi menunggu momen besar untuk merasa bahagia. Secangkir kopi hangat di pagi hari, percakapan ringan dengan orang terdekat, atau sekadar sore yang sunyi — semua itu kini terasa cukup. Kamu berhenti mengejar kebahagiaan di tempat jauh, karena kamu menyadari bahwa rasa damai sebenarnya selalu ada di sini, di momen kecil yang sering kamu lewatkan dulu.

Kamu menjadi lebih tenang karena kamu tak lagi mengaitkan kebahagiaan dengan pencapaian. Kamu sadar, kebahagiaan bukan tujuan akhir, tapi cara kamu menjalani hidup setiap hari. Dengan hati yang lebih sederhana, kamu mulai hidup dengan lebih sadar, lebih penuh, dan lebih bersyukur. Dan di situlah kamu menemukan bahwa ketenangan sejati ternyata bukan hasil dari memiliki banyak hal, tapi dari mensyukuri apa yang sudah ada.


Menjadi tenang bukan berarti kamu berhenti berjuang. Justru di situlah letak kedewasaan sejati: kamu tetap melangkah, tapi tanpa tergesa; kamu tetap berjuang, tapi tanpa rasa panik; kamu tetap peduli, tapi tanpa kehilangan dirimu sendiri. Ketenangan adalah tanda bahwa kamu telah berdamai dengan masa lalu, menerima masa kini, dan mempercayai masa depan. Maka jika belakangan kamu merasa lebih tenang, lebih memilih diam, lebih mudah memaafkan — ketahuilah, kamu sedang berubah menjadi versi dirimu yang jauh lebih kuat.

Sumber FB : Kasih Tulis

Mentaati ibubapa itu berat, tetapi mentaati suami itu jauh lebih berat dan lebih besar ujiannya. Kata guru susah dan payah hendak taat itu kerana pahala mentaati suami adalah jauh lebih besar daripada pahala mentaati ibubapa dan apabila pahala lebih besar maka ujiannya juga adalah lebih besar.

Menahan diri daripada meninggikan suara kepada suami itu tidak mudah. Berusaha untuk meminta maaf walaupun suami yang bersalah itu juga tidak mudah. Sabar menghadapi ego suami itu tidak mudah. Mengutamakan keinginan dan hak suami juga tidak mudah. Menuruti perintah suami juga tidak mudah. Berusaha menyambut dan melayani suami selepas pulangnya suami dari tempat kerjanya juga tidaklah mudah.

Kerana semua para wanita itu mampu menjadi isteri, akan tetapi tidak semua para wanita itu mampu menuruti, mentaati, patuh dan merendah diri kepada suaminya. Memang perjuangan menjadi isteri solehah itu tidaklah mudah. Kerana pada perkahwinan itu adanya ujian dan kerana itulah juga Allah memberikan balasan yang terbaik yakni Syurga buat isteri solehah.

Pesan guru— Para suami juga perlulah mengaji ilmu fardhu ain. Supaya dapat menjadi contoh yang terbaik untuk isteri dan anak-anak. Kerana kata guru, suami itu adalah guru kepada isteri dan anak-anaknya. Dalam sedar atau tidak sedar, isteri itu sedang mencontohi kebaikan suaminya. Maka apabila suami sabar, isteri juga akan bertambah sabar dan begitulah seterusnya.

Buat para isteri, selamat belajar dan selamat melalui proses menjadi isteri solehah. Isteri yang solehah itu bukanlah yang tidak pernah melakukan kesilapan dan kesalahan. Tetapi isteri yang solehah itu adalah isteri yang sedar akan kesilapannya dan berusaha untuk memperbaiki kesilapan itu agar tidak diulanginya lagi.

Sumber FB : Sollehah Alami

Ada satu benda yang ramai orang lupa bila hidup jadi serabut. Kita takkan mampu kawal semua yang berlaku pada kita.

Orang boleh buat perangai. Sistem boleh buat hal. Plan boleh hancur. Benda yang kita jaga elok pun, kadang tetap runtuh. Dan masa itu, yang paling memenatkan bukan kejadian dia, tapi perang dalam kepala kita sendiri.
.

Tapi ada satu ruang kecil yang masih milik kita.

Cara kita bertindak balas.

Nada yang kita pilih bila marah. Ayat yang kita tahan daripada keluar. Keputusan yang kita tangguh sampai emosi reda. Cara kita jaga diri walaupun dunia tengah tak baik pada kita.

Sebab dalam banyak situasi, kita tak dapat pilih apa yang jadi, tapi kita boleh pilih siapa kita nak jadi lepas ia terjadi.
.

Kalau hari ini anda rasa hilang kawalan, cuba buat satu benda yang sederhana.

Berhenti sekejap.
Tarik nafas.

Bukan sebab anda lemah. Tapi sebab anda sedang belajar jadi lebih tenang, lebih matang, dan lebih sayang pada diri sendiri.

Sumber FB : Public Health Malaysia

Jangan bawa beban 2025 ke 2026

Peralihan tahun bukan sekadar beralih tahun. Ia adalah satu garis untuk kita melakukan muhasabah dan penambahbaikan kepada diri kita.

Kita ingin jadi lebih baik daripada semalam.

Ada benda yang tak patut dibawa ke tahun depan.

Bukan sebab ia buruk.

Tapi sebab ia dah selesai tugasnya.

Antaranya adalah beban emosi, kejaran yang tak jelas hujungnya, rasa bersalah pada diri sendiri

Sebab hidup tak ikut timeline orang lain.

Tak semua yang berat itu perlu dipikul lama-lama.

Ada beban yang patut dilepaskan.

Supaya langkah jadi ringan.

Supaya nafas jadi panjang.

2026 tak perlukan versi kita yang lebih kuat.

Ia perlukan versi kita yang lebih jelas.

Jelas apa yang nak dikejar.

Jelas apa yang patut dilepaskan.

Dan jelas bila nak berhenti.

Cara paling matang untuk bergerak ke depan adalah dengan meletakkan beban
dan berjalan tanpa drama.

Sumber FB : Ali Daud

NAFS KUSHI — MEMBUNUH “AKU”

Masalah manusia hari ini bukan kurang ibadah. Masalahnya ialah terlalu banyak “aku” dalam ibadah itu. Kita solat, tetapi kita mahu dihargai. Kita berbuat baik, tetapi kita mahu diingat. Kita sabar, tetapi kita mahu orang tahu kita sedang bersabar. Di situlah ego hidup, walaupun mulut menyebut nama Tuhan.

Dalam tasawuf, pembunuhan ego dipanggil nafs kushi. Ia bukan membunuh orang lain.

Ia membunuh suara dalam diri yang sentiasa berkata, “Ana khairun minhu” yang bermaksud “Aku lebih baik daripadanya”, yang merupakan ungkapan kesombongan Iblis ketika menolak perintah Allah untuk sujud kepada Adam.

Suara yang merungut apabila tidak dihormati. Suara yang marah apabila tidak difahami. Selagi suara ini hidup, selagi itu hati tidak pernah benar-benar tunduk.

Nafs kushi bermula pada saat yang sangat kecil tetapi menyakitkan. Saat kita diperlakukan tidak seperti yang kita harapkan. Ego menjerit, “Ini tak adil.”

Di sinilah ujian sebenar. Jika kita terus menyimpan rasa itu, ego membesar. Tetapi jika kita berkata dalam hati, “Apa ertinya semua ini?” sesuatu dalam diri mula mati.

Kita tidak disuruh menjadi lemah. Kita disuruh berhenti memuja diri sendiri. Tidak semua perkara perlu dibalas. Tidak semua perasaan perlu dipertahankan. Tidak semua maruah perlu ditegakkan dengan kemarahan.

Kadang-kadang, kemenangan rohani berlaku apabila kita memilih untuk tidak membela diri.

Ego suka mengira. Siapa yang salah. Siapa yang lebih berjasa. Siapa yang patut meminta maaf dulu. Nafs kushi memutuskan kiraan itu.

Kita terima satu hakikat yang pahit: manusia tidak wajib memahami kita, menghargai kita, atau melayan kita seperti yang kita mahu. Dunia tidak berhutang apa-apa kepada ego kita.

Apabila kita berhenti menuntut layanan, hati menjadi lebih ringan. Bukan kerana masalah selesai, tetapi kerana “aku” sudah tidak berdiri di tengah-tengah segalanya.

Banyak luka hati sebenarnya sembuh bukan kerana orang lain berubah, tetapi kerana kita berhenti berharap mereka berubah.

Nafs kushi juga mengajar satu perkara yang jarang diajar: diam itu kadang-kadang lebih dekat dengan Tuhan daripada hujah.

Memaafkan tanpa penjelasan lebih menyucikan hati daripada membuktikan diri betul. Melepaskan bukan tanda kalah, tetapi tanda ego sedang nazak.

Proses ini tidak indah. Ia sunyi. Ia membuatkan kita rasa tidak penting. Tetapi di situlah keikhlasan mula bernafas. Apabila kita tidak lagi berbuat kerana ingin dilihat. Tidak lagi bersabar kerana ingin dipuji. Tidak lagi beribadah kerana ingin rasa hebat.

Akhirnya, kita sedar sesuatu yang mengejutkan: kebanyakan keresahan kita datang bukan daripada ujian hidup, tetapi daripada ego yang enggan mati. Apabila ego jatuh, hidup masih sama, tetapi hati tidak lagi bergelora.

Itulah nafs kushi.
Bukan jalan untuk menjadi kuat di mata manusia.
Tetapi jalan untuk menjadi kecil di hadapan Tuhan.

Dan dalam kekecilan itulah, jiwa akhirnya merasa aman.

Sumber FB: Ustaz Ahmad Basir, 18/12/2025

Duhai wanita, khususnya para isteri, perbanyakkanlah berselawat kerana selawat di dalamnya terdapat tersangat banyak manfaat.

  1. Selawat Melembutkan Hati Yang Penat.

Isteri selalu menyimpan banyak rasa dalam diam. Selawat buat hati perlahan-lahan lembut, hilang sesak. Jiwa yang letih diusap dengan selawat.

  1. Selawat Datangkan Ketenangan Yang Stabil.

Emosi isteri naik turun sebab beban harian. Tapi selawat bagi tenang. Tenang yang tak dicari dari manusia. Tetapi tenang yang ALLAH limpahkan asbab keberkatan selawat.

  1. Selawat Buka Pintu Rezeki Keluarga.

Isteri yang rajin selawat, ALLAH lapangkan rezekinya dan rezeki rumahtangga pun turut terbuka.

  1. Selawat Jadikan Isteri Lebih Kuat Dalam Ujian.

Bila isteri diuji ( emosi, mental, rumahtangga ) selawat buat dia tak jatuh. ALLAH bagi kekuatan dari arah yang dia tak sangka.

  1. Selawat Tarik Kasih Sayang.

Selawat tarik kasih sayang, antara dia dan ALLAH, antara dia dan suami, antara dia dan anak-anak. Bila isteri Selawat, ALLAH lembutkan hubungan. Hilang tegang. Hilang keras kepala. Hilang baran. Diganti dengan rahmat dan kasih sayang.

  1. Selawat Jadi Penawar.

Isteri banyak fikir pasal suami, anak, rumah, keluarga.

Tapi siapa fikir hati dia?

Selawat jadi penawar yang sembuhkan hati yang tak pernah rehat.

Bila isteri selawat, ALLAH bukan sahaja tenangkan hatinya, malah ALLAH kuatkan dirinya, lembutkan jiwanya dan luaskan rezeki keluarganya.

Maka perbanyakkanlah Selawat.
Allahumma Solli ‘Ala Sayyidina Muhammad.

سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ ِللهِ وَ لآ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ

لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِٱللَّٰهِ ٱلْعَلِيِّ ٱلْعَظِيمِ‎

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Sumber FB : yusnizayaziz

24 Jamadil Akhir 1447H
15 Disember 2025

PESAN KEPADA ANAK HIDUP MESTI ADA PRINSIP.Satu kaedah yang paling berkesan untuk menanam prinsip hidup ialah menggunakan kata-kata hikmah kepada anak-anak.

Ungkapan-ungkapan yang baik itu mesti sentiasa diulang-ulang agar masuk ke dalam minda separa sedar (subconscious mind) anak-anak.

Contohnya, dunia tempat berpenat, akhirat tempat berehat, cinta Rasulullah adalah jalan mencintai Allah dan banyak lagi. Pasakkan prinsip hidup ini berulang kali.

Anak-anak akan sering melakukan kesalahan walaupun telah diperingatkan berkali-kali.

Jadi kita perlu menasihatinya berulang-ulang kali juga sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah,

Baginda mengamalkan kaedah mengulang kata-kata yang baik dalam mendidik.

Ya, pengulangan ialah ibu pengetahuan.

Marilah kita fikirkan, apakah kata-kata yang boleh menaikkan semangat anak-anak supaya mereka mempunyai prinsip dalam hidup. Prinsip hidup inilah yang akan dibawa ke mana-mana.

Tidak kira semasa belajar, sudah bekerja, berumah tangga, mempunyai anak-anak dan sebagainya. Hidup orang yang berprinsip lebih teguh, tahan uji, lebih dinamik dan konsisten.

Antaranya apa yang dipesankan oleh Rasulullah kepada Ibnu ‘Abbas r.a:
Ertinya: “Wahai anak, aku (mahu) mengajarkan kamu dengan satu pesanan. Jagalah (tanggungjawab terhadap) Allah, Allah pasti akan menjaga kamu. Jagalah (tanggungjawab terhadap) Allah, kamu pasti akan mendapati-Nya di hadapan mu. Jika kamu ingin meminta sesuatu, mintalah kepada Allah. Dan jika kamu ingin mendapatkan pertolongan, dapatkanlah daripada Allah.”
(Riwayat al-Tirmizi)

Inilah hadis Rasulullah SAW yang sangat baik untuk diterapkan kepada anak-anak sebagai prinsip hidup.

Dengan prinsip sebegini, mereka boleh menghadapi apa jua keadaan dengan sabar, tidak melatah dan tidak terburu-buru membuat keputusan.

Hadis ini mempunyai impak yang kuat pada jiwa anak-anak agar mempercayai qadak dan qadar Allah SWT.

Lebih banyak ada dalam buku ini – https://ezy.la/wahai-ibu-jadilah-madrasah-anakmu

Sumber FB: Ustaz Pahrol Mohamad Juoi 15/12/2025

UTM Open Day